375 — UNTITLED: bahureksa

Jeonavia
4 min readFeb 19, 2023

--

Di pinggir bahu jalan yang lengang dengan deretan pohon besar yang rimbun, sosok mungil meringkuk akibat tersungkur. Bagian belakang kepalanya terhantam dengan keras oleh balok kayu yang diayunkan tiga orang secara bergantian.

Kala Mas Gama memutus panggilan telepon dari Raka, isak tangis terdengar nyaring dari Ajun juga Juni disana. Panggilan telepon yang sebelumnya dengan mode speaker phone membuat Juni dan Ajun mendengar percakapan tanpa harapan dengan kondisi Aditya. Wajahnya membiru.

“MAS! BAWA KE RUMAH SAKIT!” pekik Juni. Suara parau Juni memecah konsentrasi mas Gama, gadis itu tetap mencoba menepuk halus pipi Adit, berharap ada secerca harapan. “Adit, bangun Adit….”

Mas Gama gelagapan juga bingung, “Teh, aduh semua urusannya parah. Semua Access rumah sakit nya keluarga mas Adit harus pake persetujuan Bapak. Sebentar saya chat dulu mas Raka.”

“MAS! BAWA MAS! KALAU MATI GIMANA!!!!” Teriak Juni dengan seluruh tenaganya yang tersisa.

Hanya selang beberapa detik, pekikan Juni terjawab dengan lampu motor yang menyorot mukanya, bunyi standard motor yang diturunkan membuat mesin motor yang baru datang itu menghentikan pula sorotan lampu yang menyilaukan.

Hingga di pinggir bahu jalan tersebut, Juni bisa melihat siapa yang melangkah tergesa menujunya yang masih memangku kepala Adit di paha.

Tifaldi juga Regastara.

Regastara langsung menuju Adit yang tak menunjukan pertanda ada. Kesadarannya benar terenggut, dengan senter ponsel berulang kali Regas mengecek apa yang sebenarnya memang tak menunjukan sedikitpun harapan, pupil pemilik tubuh mungil itu tak menujukan pergerakan. “Gak, gak bisa gini, Dit! Gak bisa!”

Berulang kali Regas mencari detak dari denyut di pergelangan juga pangkal leher, napas Regas berangsur terhembus berat.

Denyut yang ia cari….

Menunjukkan presensinya..

Namun, begitu lemah..

Di sisi lain, kala Regas langsung menuju Adit, Tifaldi langsung menuju mas Gama yang masih mencoba menghubungi Raka.

Tanpa aba-aba tinjuan mendarat pada pipi laki-laki bertubuh tegap dan besar itu, “PIKIRAN LO KEMANA ANJING! MASIH MIKIR NGEHUBUNGIN ATASAN LO SAAT DIA SEKARAT?! DIA MENINGGAL LO JUGA YANG DI PECAT SETAN!”

Tifaldi mengangkat kerah jaket mas Gama, matanya benar-benar menyalang tepat pada pupil mas Gama. “Mas, semua akses rumah sakit itu harus pakai persetujuan papa nya mas Adit. Gak sembarang rumah sakit boleh periksa keluarganya mas Adit! Rumah sakit rujukannya keluarga mas Adit jauh, Mas.”

“Stop Tipal! Dia gak tau apa-apa! Dia cuma kerja! Lo jangan memperkeruh suasana anjing!” Ajun melerai, mencoba menjauhkan Tifaldi dari mas Gama.

Lo juga anjing! Kenapa malah biarin Adit kesini!”

Bukan gue yang mau! Anjing!” teriak Ajun di depan muka Tifal. “Adit kesini karena nggak enak sama lo! Sama Egas! Gak enak sama bokap lo yang udah dia anggap bapak sendiri karena sebab dia Juni dalem bahaya! Dia takut lo nggak mau temenan lagi sama dia!”

Tifaldi terkesiap. Napasnya menderu. “Lo harusnya bisa larang, Jun! Lo sendiri nyaksiin gimana STM ngambil Kiming!” Teriak Tifal frustasi, tinjunya mulai melayang di udara.

Tipal udah! Nggak ada yang bisa di salahin! Adit butuh ke rumah sakit!” teriak Juni hingga tinjuan adiknya itu tak jadi mendarat di pipi Ajun.

Tipal menghampiri Adit yang tak menunjukan apa-apa, hanya tak berdaya terpejam dengan nyenyak. “Bangun anjing, Dit! Bukannya minggu depan lo bilang kita makan wagyu di Tokman.”

Tifaldi mencoba menggerakan bahu Adit, mendekatkan bibirnya ke ke telinga pemuda mungil itu, “Lo harusnya nggak perlu kesini, gue nggak bakal marah atau nyalahin lo kalau Juni kenapa-napa. Dit, gue mohon, bangun.”

Tifaldi menarik napasnya dalam, membisikkan kalimat terakhir yang ia punya, “Raka nggak mungkin adzanin lo kalau udah di bungkus kafan, dia gak bakal sanggup. Jangan berharap gue, Dit. Gue juga gak mampu.”

Regas menengadahkan kepalanya menghadap langit yang legam, berharap tetes air matanya tidak turun. Juga Juni yang sudah deras air matanya turun sedari tadi.

Dit… Bangun…” bisik halus Tifal.

Regas merasakan denyut Adit kian melemah.

Pal, ini udah nggak bisa….”

“Gas, naikin ke motor, kita dempet tiga. Lo jaga Adit di belakang, gue bakal nyetir secepat mungkin.” titah Tifaldi yang langsung bergegas menaiki sepeda motornya.

Tanpa berfikir panjang, Regas dengan bantuan Juni mengapit tubuh mungil itu untuk segera dinaikan ke bangku belakang, disusul dengan Regas yang langsung menghimpit dan menjaga tubuh mungil itu, “Dit, bertahan Dit…”

Mas.. Mas… Bahaya kalau pakai motor!”

“Lebih bahaya lagi kalau masuk mobil, Gama! Lama! Jalanan macet! Keburu detaknya nggak ada!” suara bariton tersebut menghardik mas Gama. Juni menenangkan, mencoba membuat mas Gama percaya akan ucapan Tifal.

Mas, kita ikutin di belakang, jalanan macet, udah nggak mungkin.” ucap Juni.

Tipal punya lampu hazard sama sirine patwal Mas, tenang! Lo percaya! Cuma ini satu-satunya yang buat Adit bisa selamat!” tambah Regas meyakinkan.

Tifal mulai menyalakan motor, sedikit melirik pada sisi spion kanannya, melihat Adit yang masih tepejam dan terkulai bersadar pada bahu Regas.

Dit, bertahan ya…”

Motor dilajukan membelah jalanan Bandung pukul 21.00 diikuti dengan Alphard hitam yang beberapa kali sempat tersalip dan terhambat sebab badan mobil yang lumayan memakan jalan.

Dengan tetesan air mata yang tersapu angin, Tifaldi melajukan sepeda motornya secepat mungkin yang ia bisa. Membunyikan klakson, menyalakan lampu hazardnya agar berulangkali berkedip, juga sirine patwal yang ia pasang. “Dit! kalau lo kangen kita bertiga naik motor dempetan gini, nggak gini caranya..” ucap Tifal terkekeh.

“Tipal….! Ada yang ngejar kita!” Teriak Regas dari posisi paling belakang. Pemuda itu mengencangkan remasan pada jaket di pinggang sang kakak agar yang tengah terlelap tidak jatuh, hal ini membuat Tifal melirik pada spionnya.

Anjing!”

Tifal sedikit membungkuk, mencoba melajukan motornya lebih cepat lagi, namun, muatan yang lumayan banyak membuat lajunya terbatas, hingga dua buah sepeda motor mengapit di kanan dan kiri.

Sukma dan Juniar yang berusaha membantu membuka jalan.

Diikuti dengan riuh puluhan deru motor di belakang yang ikut mengawal tubuh mungil yang kini hilang kesadarannya itu.

“BUKA JALAN ANJING!!!! EMERGENCY!!” teriak Sukma mengibaskan tangan dengan klaksonnya yang tak putus.

Secerca harapan muncul dari Tifaldi yang sebenarnya sudah putus asa sedari tadi.

Sebuah motor tiba-tiba melesat jauh ke posisi paling depan. Motor trail dengan suara khasnya, Ghiffari yang mengambil alih membuka jalan. Lampu hazard dan klakson tak putus terhenti, juga kode tangan mengibas kanan dan kiri untuk mengenyahkan jalanan yang penuh.

Pal, denyutnya nggak ada..”

--

--

No responses yet